Oleh: Arda Dinata
RASULULLAH s.a.w. bersabda, “Orang yang bersilaturahim itu bukanlah orang yang membalas kunjungan atau pemberian, akan tetapi yang dimaksud dengan orang bersilaturahim adalah orang yang menyambung orang yang memutuskan hubungan denganmu.”
RASULULLAH s.a.w. bersabda, “Orang yang bersilaturahim itu bukanlah orang yang membalas kunjungan atau pemberian, akan tetapi yang dimaksud dengan orang bersilaturahim adalah orang yang menyambung orang yang memutuskan hubungan denganmu.”
Silaturahim meupakan kata majemuk, terdiri dari kata shilat yang berarti menyambung yang putus. Sedangkan rahim berasal dari kata rahmah yang berarti kasih sayang. Berkait dengan ini, kita tahu bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah berhati hidup, tanggap, lembut dan penuh kasih sayang. Dengan hati inilah ia berkomunikasi dengan orang lain, masyarakat, dan lingkungannya. Ia akan ternyuh melihat yang lemah, pedih melihat orang yang sedih, dan santun kepada yang miskin serta mengulurkan bantuan kepada yang membutuhkan.
Adanya kondisi seperti itu, tentu akan berdampak pada terhindarnya dari usaha untuk menyakiti orang lain. Apalagi melakukan kejahatan. Sebaliknya ia tentu akan menjadi sumber inspirasi dan keteladanan bagi kebaikan, keberuntungan dan kedamaian orang lain, masyarakat serta lingkungannya.
Sementara itu, dalam kamus umum bahasa Indonesia, silaturahim diartikan sebagai persaudaraan, persahabatan. Dari sini, kita bisa kembangkan menjadi berkunjung, mendatangi, mengeratkan tali kasih (termasuk berdoa), bahkan bisa diperluas lagi menjadi saling berkomunikasi (tukar pikiran), curhat, dan saling memaafkan.
Pada konteks budaya Indonesia, kegiatan silaturahim ini akan terasa sekali pada awal-awal bulan Syawal atau saat Idul Fitri, bila kita bandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Padahal, seharusnya pemahaman silaturahim dan perilaku tersebut tidak terbatas pada perbedaan bulan dan situasional. Tapi, setiap saat kita harus berusaha membangun dan melakukannya, karena aktivitas ini akan mendatangkan rahmat Allah yang tidak terkira.
Keterangan berikut ini, setidaknya dapat menyakinkan kita tentang hal itu. “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” tanya Rasulullah s.a.w. kepada sahabat-sahabatnya.
Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambung persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal salah yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambung persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks ini, bila kita menyikapi dan merenungi hadis tersebut, maka jelas Islam telah lebih dulu memberikan kunci bagi mereka yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakan rizkinya. Yakni dengan cara menyambung persaudaraan (baca: menjalin persahabatan hakiki). Lalu, bagaimana aplikasinya?
Ilmu Barat mengatakan, “Inti dari hidup adalah bergerak.” Dengan demikian, siapa pun orangnya yang sering melakukan gerak, maka ia hidup. Sebab dengan melakukan gerak, tentu organ tubuh juga ikut bergerak. Dampaknya membuat jantung akan memompakan darah ke seluruh tubuh kita.
Kaitannya dengan silaturahim, maka orang yang sering melakukan aktivitas tersebut terhadap Sang Pencipta, manusia lain, dan lingkungannya, maka ia akan melakukan gerak pada organ tubuhnya (baik fisik maupun psikisnya). Otomatis organ tubuhnya menjadi hidup, yang pada akhirnya berkolerasi positif terhadap “dipanjangkan” usianya. Artinya bukan jatah hidupnya yang telah ditentukan-Nya menjadi bertambah, tetapi nama kita (dikemudian hari) walau telah meninggal dunia akan terus dikenang oleh orang lain karena kebaikan-kebaikan yang telah kita kerjakan.
Aktivitas silaturahim ini, selanjutnya juga akan mendatangkan rizki yang tidak disangka-sangka kepada siapa pun yang melakukannya. Rizki yang bagaimana? Itu adalah hak perogratif Allah. Yang jelas dalam silaturahim itu akan terjadi dialog, pembicaraan tentang sesuatu hal. Di sini, tentunya akan terjadi transfer ilmu pengetahuan. Bukankah ini merupakan suatu rizki? Lalu, kita juga kadangkala dalam silaturahim itu ada jamuan. Sehingga dari pertemuan santai model ini juga biasanya ada yang berlanjut pada kesepakatan kerjasama untuk berusaha dan bisnis. Bukankah hal ini suatu rizki? Dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang pasti, niatkan hati kita dengan iklas mengharap ridha-Nya. Karena Allah Maha Tahu apa kebutuhan kita dan Allah Maha Kaya lagi tahu segala-galanya.
Lebih dari itu, aktivitas silaturahim ini tentu akan mengokohkan jalinan persahabatan hakiki bagi setiap orang yang mampu membangunnya. Dan kondisi bangsa saat ini, kelihatannya sangat membutuhkan sosok anak bangsa yang mampu menjalin ikatan persahabatan hakiki di antara penghuni negeri ini.
Persahabatan hakiki
Persahabatan hakiki merupakan kata-kata indah untuk didengarkan dan tentunya setiap orang mendambakan realitas hal tersebut. Persahabatan itu sendiri berarti perhubungan selaku sahabat. Sahabat adalah teman disegala suasana. Asik diajak berdiskusi, juga penuh kesabaran mendengarkan keluh kesah. Apalagi saat senang, memang enak dijalani bersama. Begitu pun saat susah, terasa ringan dengan berbagi cerita terhadap sahabat.
Menjalin ikatan persahabatan merupakan aktivitas yang suci (fithriyyah) bagi kita, karena manusia memang ditakdirkan Allah menghuni bumi ini sebagai makhluk sosial. Dari aktivitas tersebut, kita bisa belajar banyak mengenai kehidupan lebih banyak lagi. Lewatnya, kita bisa bercermin. Melalui cermin persahabatan ini, kita bisa melihat perbedaan-perbedaan sifat, karakter manusia dan pola kehidupannya. Dan dari sini pula diharapkan kedewasaan serta kesabaran kita menjadi tertanam secara kokoh.
Untuk mencapai makom persahabatan hakiki tersebut, Islam jauh-jauh hari telah memberi petunjuk untuk mencapainya. Yakni melalui persahabatan yang dibalut dengan Sibghah Allah. Tepatnya, bersahabat dalam pancaran nur Islam, yaitu bukan hanya berupa jalinan dua orang insan yang seiman dan seakidah (baca: ibarat satu tubuh). Tapi, juga otomatis dan tidak bisa tidak, meminjam bahasa Aa Gym adalah mesti ada “pihak ketiga” yang ikut mengikatkan diri serta kian memperteguh ikatan di antara keduanya. Yaitu Allah zat yang maha memiliki rasa kasih dan sayang. Singkatnya, persahabatan dalam Islam memang akan selalu melibatkan keberadaan Allah di tengah-tengah kita.
Sesungguhnya persahabatan hakiki itu merupakan buah dari kebajikan akhlak, sedangkan perselisihan tidak lain merupakan hasil dari kebejatan akhlak. Maka akhlak yang bagus akan membuahkan rasa saling cinta, saling bersatu, dan saling memberi manfaat. Sedangkan akhlak yang buruk akan menghasilkan rasa saling membenci, saling mendengki, dan saling mencelakakan.
Akhirnya, apa yang telah dipaparkan di atas, tidak lain adalah sesuatu yang mesti kita bina dengan jalinan persahabatan karena Allah. Yang untuk kondisi saat ini merupakan sesuatu yang terlihat renggang ---kalau tidak mau disebut rapuh---. Jadi, kunci bagi dipanjangkannya usia dan terbukanya rahmat serta pertolongan Allah untuk keluar dari jeratan krisis yang melilit bangsa ini, tidak lain adalah membangun ukhuwah islamiyah dan persahabatan hakiki di antara penghuni negeri ini. Karena bagaimana pun besarnya umat Islam di Indonesia, sama sekali tidak ada artinya, benar-benar laksana buih di lautan yang dengan mudah terombang-ambing gelombang, bila kita tidak mau berpegang teguh pada tali Allah dan menegakkan persatuan umat. Wallahu’alam.***
Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com